Sejarawan Asvi Warman Adam pernah menulis tentang betapa
bersihnya Presiden pertama RI, Ir Soekarno, dari noda korupsi. “Presiden
Soekarno tidak mewariskan harta benda berlimpah tatkala ia wafat pada 1970,”
tulisnya di Harian Kompas (10/2/2015). Seakan menyindir Soeharto, Asvi lebih
lanjut menulis, bahwa Majalah Time tidak pernah mengulas tentang kekayaannya
dan keluarga Sukarno. “Ketika meninggalkan Istana Merdeka pada 1967, ia hanya
membawa pakaian seadanya. Memang ada gratifikasi yang mungkin belum diatur
waktu itu, seperti jam Rolex, yang ditinggalkannya begitu saja di istana.”
Suharto Melindungi Sukarno dgn dalih Mikhul Dhuwur Mendhem Jero (Karikatur Harjadi S, 1967) |
Tentu tak ada yang bisa menyangkal fakta yang
disampaikan Asvi tentang hari-hari akhir Soekarno yang ‘sengsara’ dalam
penanganan rezim baru di bawah Jenderal Soeharto. Bahkan tak sedikit pihak, baik dari kalangan kawan maupun lawan politik Soekarno yang mengecam penanganan
tidak manusiawi Soeharto dan para jenderalnya terhadap proklamator Indonesia
itu. Menurut kultur Jawa, pada momen itu Soeharto tidak sepenuhnya mematuhi falsafah
yang diucapkannya sendiri dalam bersikap mengenai Soekarno, mikul dhuwur
mendhem jero.
Namun betulkah, Soekarno sama sekali bersih dari noda
dan aroma korupsi? Salah seorang isterinya, Ratna Sari Dewi, belakangan
diketahui memiliki tidak sedikit aset di Indonesia. Dan menariknya, banyak
penguasa Orde Baru di bawah Soeharto, beberapa tahun setelah kematian Soekarno,
justru membantu Ratna Sari Dewi –seorang perempuan keturunan Jepang yang
jelita– untuk memulihkan hak-haknya atas aset-aset tersebut.
PERLU meminjam sejumlah catatan dari buku Menyilang
Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004)
bahwa tatkala Soekarno berada pada masa puncak kekuasaannya dalam kurun waktu
demokrasi terpimpin 1959 hingga 1965, korupsi juga terjadi. “Mitos yang sering
ditiupkan kala itu bahwa Soekarno tidak perlu uang dan materi, samasekali tidak
punya dasar kebenaran. Pengumpulan dana untuk kekuasaan dilakukan atas namanya setidaknya
oleh Soebandrio dan Jusuf Muda Dalam –dua di antara para menteri kabinetnya.
Suatu dana yang disebut sebagai ‘Dana Revolusi’ dikumpulkan di tangan
Soebandrio dengan pelaksana utama pengumpulan Jusuf Muda Dalam.” Selain untuk
‘Dana Revolusi’ secara teratur Jusuf Muda Dalam juga mengalirkan dana untuk
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tentu saja sebagian untuk memanjakan beberapa wanita yg menjadi gundik Sukarno. (baca buku biografi Heldy Jaffar, Cinta Terakhir Bung Karno, yg ditulis oleh Ully Hermono & Peter Kasenda dgn penerbit Buku Kompas ditahun 2011).
Mingguan Mahasiswa Indonesia pada tahun 1966 juga mengungkapkan bahwa Soekarno di puncak kekuasaannya sangat jauh berbeda dengan Soekarno dimasa perjuangan menuju Indonesia Merdeka. Sukarno kini adalah seorang yang punya selera
hidup mewah dan mengambil uang dari kas negara secara tak terbatas. “Karena
hati-hati maka ia menumpuk kekayaan di luar negeri”. Penyelewengan Soekarno
sering diungkapkan oleh media generasii muda itu dengan didukung angka-angka.
Apakah tuduhan ini benar ?
Bahwa Soekarno senang hidup mewah, terbukti dari
kenyataan betapa sangat seringnya
berlangsung pesta-pesta tari lenso di Istana yang dihadiri para pejabat negara
yang dekat Soekarno, para pengusaha yang mendapat fasilitas kekuasaan serta
perempuan-perempuan cantik yang biasanya dari kalangan artis. Beberapa di
antara artis ini berhasil menikmati hadiah-hadiah dari Istana atas
‘jasa-jasa’nya. Paling terkenal adalah hadiah mobil sedan Fiat 1300 yang waktu
itu menjadi model paling mutakhir. Pada masa Soekarno, terkenal nama-nama
pengusaha yang meroket karena fasilitas seperti Markam pemilik perusahaan Karet
Markam (Karkam), Dasaad pemilik Dasaad Musin Concern, Hasjim Ning importir
mobil Fiat dan Rahman Aslam pengusaha new comer keturunan Pakistan-Indonesia
yang antara lain bergerak di bidang perdagangan tekstil.
TATKALA banyak orang, termasuk di kalangan generasi
muda, menempatkan Soekarno yang sedang berkuasa sebagai sosok yang mengagumkan, seorang aktivis mahasiswa Soe-Hok Gie telah sampai pada fase pandangan kritis terhadap
Soekarno. Tapi pandangannya itu, menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan
Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006) lebih banyak tertuang dalam
catatan hariannya dan belum terpublikasikan pada waktu itu.
Selain mencatat, Soe-Hok Gie cukup banyak mengutarakan
pandangan-pandangan kritisnya mengenai Soekarno, dalam berbagai kesempatan
dengan rekan-rekannya sesama aktivis, maupun kepada sejumlah tokoh gerakan
asimilasi di LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). LPKB ini merupakan ‘rival’
Baperki yang dalam permasalahan etnis Tionghwa di Indonesia, menganut paham
integrasi atau multikulturalisme, bahwa komunitas Tionghwa mengintegrasikan
diri dalam masyarakat Indonesia tanpa meninggalkan jati diri etnisnya, yang mereka
sebut ke-Tionghwa-an.
Seusai ikut suatu pertemuan LPKB dengan Soekarno di
Istana, Februari 1963, dalam catatan tanggal 23 Soe-Hok Gie menulis mengenai
Soekarno. “Sebagai manusia, saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi
sebagai pemimpin tidak. Bagaimana ada pertanggungjawaban sosialisme melihat
negara dipimpin oleh orang-orang seperti itu?”. Dalam pertemuan itu, Soekarno
mengisi sebagian waktu dengan percakapan-percakapan yang membuat Soe-Hok Gie
merasa agak aneh. Presiden Soekarno dengan senang mendengar gosip terbaru di
Jakarta tentang Menteri Luar Negeri Soebandrio dan hubungannya dengan
bintang-bintang film lokal yang terkenal, yang salah seorang di antaranya
adalah artis keturunan Tionghwa.
Ketika pembicaraan meloncat lebih jauh mengenai seks,
Hok Gie mengutip Soekarno yang dengan nada riang berkata, tentang bagaimana rasanya
bila memegang-megang buah dada perempuan yang diinjeksi dengan plastik.
Soekarno juga membicarakan bagaimana yang cantik-cantik dipegang-pegang oleh
Bung Karno, Chaerul Saleh dan Dasaad. Bung Karno, kata Hok Gie, “penuh
humor-humor dengan mop-mop cabul dan punya interese yang begitu immoral.
Lebih-lebih melihat Dasaad yang gendut tapi masih senang gadis-gadis cantik. Ia
menyatakan bahwa ia akan kawin dengan orang Jepang sekiranya ia masih muda.”
Raut Wajah Bung Karno Sesaat setelah MPRS Mencabut Mandatnya. |
Suatu saat Bung Karno berkata ia ingin menerima sesuatu, sebuah
helikopter sebagai hadiah dan Dasaad dengan ringan berkata, "tahu beres bila surat-suratnya
beres…..” Dasaad ini adalah salah seorang pengusaha yang amat dekat dengan
Soekarno kala itu. ”Kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai
pemimpin negara karena ia begitu immoral.” Soe-Hokgie juga cemas mengamati
tanda-tanda korupsi yang kotor berupa keakraban dengan tokoh-tokoh yang korup,
seperti Dasaad, yang terlihat jelas di lingkungan istana, para pembantu
presiden yang menunjukkan sikap menjilat, dan asisten perempuannya yang ia
perlakukan sebagai objek seks pribadi.
Puncak dari semua itu dapat terlihat dari mimik wajah yang ditunjukan Bung Karno sesaat setelah Ketua MPRS mencabut mandat dari Bung Karno. Terlukis kesan ketidak relaan diwajah Bung Karno menerima kenyataan itu. Bung Karno seolah sudah membayangkan hilangnya kenikmatan-kenikmatan duniawi seperti yang selama ini didapatnya. Bung Karno seolah sudah membayangkan bila dirinya akan seperti burung yang patah sayapnya.
Berikut ini dilampirkan video yang menampilkan suasana kontradiktif yang terjadi disaat-saat terakhir bung Karno. Disaat Mahasiswa yang menuntut keadilan atas peristiwa G30S, disaat itu pula Bung Karno seolah tak peduli dan masih asyik menggelar pesta dansa-dansi seolah-olah tuntutan Mahasiswa & Rakyat Indonesia ibarat Riak Kecil ditengah Samudera.
---000---
---000---